Senin, 29 Juli 2013

Kerajaan Medang Kamulan


1. Letak Geografis
Kerajaan Medang kamulan merupakan Kerajaan lanjutan dari Mataram Lama di Jawa Tengah. Letak Kerajaan berada di wilayah Jawa Timur. Kerajaan Medang menjadi Kerajaan tersendiri sejak Mpu sindok membentuk Dinasti Baru yaitu Isyana.
2. Sumber Sejarah
  • · Prasasti Mpu Sindok
Prasasti ini menyebutkan beberapa tulisan tentang usaha-usaha yang dilakukan Mpu Sindok ketika memerintah di Kerajaaan Medang
  • · Prasasti Calcuta
Prasasti ini menyebutkan tentang silsilah raja-raja yang memerintah di Dinasti Isyana (Mpu Sindok) sampai masa masa pemerintahan Raja Air Langga.
3. Perkembangan Pemerintahan
a. Mpu Sindok
Mpu Sindok merupakan Raja pertama di Kerajaan Medang Kamulan. Mpu Sindok memerintah selama 20 tahun. Ia dibantu oleh permaisurinya bernama Sri wardhani Pu Kbin . Saat memerintah, Mpu Sindok bergelar Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isyana Wikrama Dharmatunggadwea.
Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Berbagai usaha yang dilakukan untuk memakmurkan rakyat, antara lain membangun bendungan atau waduk untuk pengairan. Raja Mpu sindok melarang rakyat untuk menangkap ikan di bendungan tersebut. Larangan ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam.
Dalam bidang agama, Mpu Sindok meskipun agama Hindu, sangat memperhatikan usaha penggubahan Kitab Buddha Mahayana. Hasil gubahan berupa kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Ini membuktikan antara agama Hindu dan Buddha bisa hidup saling berdampingan.


b. Dharmawangsa Teguh
Setelah Mpu Sindok, Medang Kamulan diteruskan oleh Dharma Teguh yang juga merupakan cucu dari Mpu Sindok. Selama memerintah, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Usaha tersebut antara lain dengan meningkatkan pertanian, dan perdagangan. Akan usaha untuk meningkatkan perdagangan mengalami kesulitan. Karena perdagangan di kawasan perairan jawa dan Sumatera masih dikuasai Kerajaan Sriwijaya.Dalam rangka mematahkan pengaruh Sriwijaya, pada tahun 1003 M, Dharmawangsa mengirimkan tentaranya untuk merebut pusat perdagangan di Selat Malaka dari kekuasaan Sriwijaya. Serangan tersebut ternyata tidak berhasil. Bahkan Sriwijaya membalas melalui serangan kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan atau vassal Sriwijaya). Akibat serangan tersebut Kerajaan Medang mengalami kehancuran. Peristiwa kehancuran yang menewaskan Dharmawangsa disebut dengan Pralaya.
c. Air langga (Erlangga)
     Air langga adalah putera Raja Bali bernama Udaya yang menikah dengan Mahendradatta saudari raja Dharmawangsa. Air Langga dinikahkan oleh Dharmawangsa. Pada waktu pesta pernikahan, secara tiba-tiba datang serangan dari kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan Sriwijaya) yang menewaskan Dhramawangsa dan keluarga.Ketika terjadi peristiwa tersebut, Air Langga lolos dari pembunuhan. Atas bantuan Narattoma berhasil melarikan diri ke hutan. Selama di pengasingan, Air Langga mendapat gemblengan dari para Brahmana dan dinobatan menjadi raja. Akhir Langga berusaha memulihkan kewibawaan Kerajaan Medang. Secara berturut-turut Air Langga berhasil menaklukan raja-raja bawahan (vassal) Sriwijaya seperti Bisaprabhawa ditaklukan tahun 1029 M, raja Wijayawarman dari Wengker tahun 1034, Raja Adhamapanuda tahun 1031 M termasuk Wura Wuri tahun 1035. Setelah berhasil memulihkan kewibawaan kerajaan, Air Langga memindahkan ibukota kerajaan Medang ke Kahuripan.
Usaha yang dilakukan Air Langga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Medang, antara lain :
1. Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, di muara Kali Brantas.
2. Membangun waduk waringin sapta untuk mencegah banjir musiman.
3. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan pesisir ke pusat kerajaan.





Pelabuhan Hujung Galuh dan Tuban menjadi bender dagang yang ramai. Kapal-kapal dari India, Birma, Kamboja dan Champa berkunjung kedua tempat itu.Usaha-usaha yang dilakukan Air Langga, telah mendorong Kerajaan Medang Kamulan kepuncak kejayaan dan kemakmuran. Atas keberhasilan raja Air Langga tersebut dalam membangun kerajaan maka pengalaman hidupnya dikisahkan dalam sebuah kitab bernama Arjuna wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa.Selain usaha dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, Air Langga pun sangat memperhatikan para Brahmana yang telah menggembleng ketika di hutan Bentuk perhatian Air Langga terhadap para Brahmana adalah dengan mendirikan bangunan suci di daerah Peucangan.
   Di penghujung akhir hayatnya, Air Langga memutuskan mundur dari kerajaan dan menjadi memutuskan untuk menjadi pertapa dengan sebutan resi Gentayu. Air Langga meninggal pada tahun 1049 M. Jenazahnya disemayamkan di lereng gunung Pananggungan dalam candi Belahan.
Pewaris tahta kerajaan seharusnya seorang puteri (sri Sanggramawijaya) yang lahir dari permaisuri. Namun karena ia memilih menjadi pertapa, maka tahta beralih pada putera Air Langga yang lahir dari Selir. Untuk menghindari dari perang saudara, Air Langga membagi dua kerajaan. Pembagian dibantu oleh Mpu Bharada, yaitu Jenggala dan Panjalu. Batas kedua kerajaan dibatasi oleh sungai Brantas. Maka dengan demikian berakhirlah kerajaan Medang Kamulan sekaligus Dinasti Isyana
Medang Kamulan – Kerajaan Pertama Di Jawa
      Di posting saya terdahulu tentang perjalanan sejarah kerajaan kuno di indonesia, Kerajaan Medang Kamulan menempati posisi pertama sebagai kerajaan pertama yang ada di Jawa. Medang Kamulan adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang (kamulan berarti “permulaan”, jadi “Medang Kamulan” berarti “pra-Medang”). Kerajaan ini dikatakan “setengah mitologis” karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti fisik keberadaannya.
      Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanya berasal dari cerita-cerita rakyat (misalnya dalam Legenda Loro Jonggrang) dan penyebutan oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa menyebutkan bahwa Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru. Dalam legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar yang lalim. Cerita rakyat lain (di antaranya termasuk legenda Loro Jonggrang dan berdirinya Madura) menyatakan, Medang Kamulan dikuasai oleh Prabu Gilingwesi.
     Legenda Aji Saka sendiri menyebutkan bahwa Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan adalah tempat munculnya Jaka Linglung setelah menaklukkan Prabu Dewata Cengkar. Van der Meulen menduga, walaupun ia sendiri tidak yakin, bahwa Medang Kamulan dapat dinisbatkan kepada “Hasin-Medang-Kuwu-lang-pi-ya” yang diajukan van Orsoy, dalam artikelnya tentang Kerajaan “Ho-Ling” yang disebut catatan Tiongkok. Hal ini membuka kemungkinan bahwa Medang Kamulan barangkali memang pernah ada.
Baris ke-782 dan 783 dari naskah kedua Perjalanan Bujangga Manik dari abad ke-15 menyebutkan bahwa setelah ia (Bujangga Manik) meninggalkan Pulutan (sekarang desa di barat kota Purwodadi) ia tiba di “Medang Kamulan”. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa setelah ia menyeberang Sungai Wuluyu tibalah ia di “Gegelang” (Madiun selatan), di selatan “Medang Kamulan”. Naskah inilah yang pertama kali menyebut bahwa memang ada tempat bernama Medang Kamulan, meskipun tidak dikatakan bahwa itu adalah kerajaan.
Masyarakat Sunda diketahui mengenal legenda mengenai kerajaan ini, yang dikatakan mendahului Kerajaan Sunda Galuh
Kerajaan Medang Kamulan
Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas. Ibukotanya bernama Watan Mas. Kerajaan itu didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di sebelah timur, Surabaya di sebelah utara, dan Malang di sebelah selatan. Dalam perkembang-an selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh wilayah Jawa Timur.
a.  Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Medang Kamulan berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
b.  Berita Asing
Berita asing tentang keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur dapat diketahui melalui berita dari India dan Cina. Berita dari India mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Chola untuk membendung dan menghalangi kemajuan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa.
Berita Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada zaman Dinasti Sung. Catatan-catatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara kerajaan yang berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan, sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Cina (tahun 990 M), terpaksa harus tinggal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada tahun 992 M, pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan Kerajaan Medang Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan. Di samping itu, tahun 992 M tercatat pada catatan-catatan negeri Cina tentang datangnya duta persahabatan dari Jawa.
Berita Prasasti
Beberapa prasasti yang mengungkapkan Kerajaan Medang Kamulan antara lain:
• Prasasti dari Mpu Sindok, dari Desa Tangeran (daerah Jombang) tahun 933 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah bersama permaisurinya Sri Wardhani Pu Kbin.
• Prasasti Mpu Sindok dari daerah Bangil menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan satu candi sebagai tempat pendharmaan ayahnya dari permaisurinya yang bernama Rakryan Bawang.
• Prasasti Mpu Sindok dari Lor (dekat Nganjuk) tahun 939 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan candi yang bernama Jayamrata dan Jayastambho (tugu kemenangan) di Desa Anyok Lodang.
• Prasasti Calcuta, prasasti dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan dari Raja Mpu Sindok.
c. Kehidupan Politik
Sejak berdiri dan berkembangnya Kerajaan Medang Kamulan, terdapat beberapa raja yang diketahui memerintah kerajaan ini. Raja-raja tersebut adalah sebagai berikut.
Raja Mpu Sindok Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kamulan dengan gelar Mpu Sindok Sri Isyanatunggadewa. Dari gelar Mpu Sindok itulah diambil nama Dinasti Isyana.
Raja Mpu Sindok termasuk keturunan Raja Dinasti Sanjaya (Mataram) di Jawa Tengah. Oleh karena kondisi Jawa Tengah tidak memungkinkan bertahtanya Dinasti Sanjaya akibat desakan Kerajaan Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bahkan dalam prasasti terakhir, Mpu Sindok adalah peletak dasar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Namun, setelah Mpu Sindok turun tahta, keadaan Jawa Timur dapat dikatakan suram, karena tidak adanya prasasti-prasasti yang menceritakan kondisi Jawa Timur. Baru setelah Airlangga naik tahta muncul prasasti-prasasti yang dijadikan sumber untuk mengetahui keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur.
  Dharmawangsa Raja Dharmawangsa dikenal sebagai salah seorang raja yang memiliki pandangan politik yang tajam. Kebesaran Dharmawangsa tampak jelas pada politik luar negerinya. Raja Dharmawangsa percaya bahwa kedudukan ekonomi Kerajaan Sriwijaya yang kuat merupakan ancaman bagi perkembangan Kerajaan Medang Kamulan. Oleh karena itu. Raja Dharmawangsa mengerahkan seluruh angkatan lautnya untuk menduduki dan menguasai Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi, selang beberapa tahun kemudian, Sriwijaya bangkit dan mengadakan pembalasan terhadap Kerajaan Medang Kamulan yang masih diperintah oleh Dharmawangsa.
   Dalam usaha menundukkan Kerajaan Medang Kamulan, Kerajaan Sriwijaya mengadakan hubungan dengan kerajaan kecil yang ada di Jawa, yaitu dengan Kerajaan Wurawari. Serangan dari Kerajaan Wurawari itulah yang mengakibatkan hancurnya Kerajaan Medang Kamulan (1016 M). Serangan itu terjadi ketika Raja Dharmawangsa melaksanakan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga (dari Bali). Dalam serangan itu. Raja Dharmawangsa beserta kerabat istana tewas. Namun Airlangga dapat melarikan diri bersama pengikutnya yang setia, yaitu Narottama.
Airlangga Dalam prasasti Calcuta disebutkan bahwa Raja Airlangga masih termasuk keturunan Raja Mpu Sindok dari pihak ibunya yang bernama Mahendradata (Gunapria Dharmapatni) yang menikah dengan Raja Udayana.
   Ketika Airlangga berusia 16 tahun ia dinikahkan dengan putri Dharmawangsa. Pada saat upacara pernikahan itulah terjadi serangan dari Kerajaan Wurawari, yang mengakibatkan hancurnya Kerajaan Medang Kamulan. Seperti sudah disebut, Airlangga berhasil melarikan diri bersama pengikutnya yang setia, yaitu Narottama ke dalam hutan. Di tengah hutan Airlangga hidup seperti seorang pertapa dengan menanggalkan pakaian kebesarannya.
   Selama tiga tahun (1016-1019 M), Airlangga digembleng baik lahir maupun batin di hutan Wonogiri. Kemudian, atas tuntutan dari rakyatnya, pada tahun 1019 M Airlangga bersedia dinobatkan menjadi raja untuk meneruskan tradisi Dinasti Isyana, dengan gelar Rakai Halu Sri Lakeswara Dharmawangsa Airlangga Teguh Ananta Wirakramatunggadewa.




    Antara tahun 1019-1028 M, Airlangga berusaha mempersiapkan diri agar dapat menghadapi lawan-lawan kerajaannya. Dengan persiapan yang cukup, antara tahun 1028-1035 M, Airlangga berjuang untuk mengembalikan kewibawaan kerajaan. Airlangga menghadapi lawan-lawan yang cukup kuat seperti Kerajaan Wurawari, Kerajaan Wengker, dan Raja Futri dari selatan yang bernama Rangda Indirah. Peperangan menghadapi Rangda Indirah ini diceritakan melalui cerita yang berjudul Calon Arang.
Setelah Airlangga berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, ia mulai membangun kerajaan di segala bidang kehidupan untuk kemakmuran rakyatnya. Dalam waktu singkat Kerajaan Medang Kamulan berhasil meningkatkan kesejahteraannya, keadaan masyarakatnya stabil. Setelah tercapai kestabilan dan kesejahteraan kerajaan, pada tahun 1042 M Raja Airlangga memasuki masa kependetaan.
Tahta kerajaan diserahkan kepada seorang putrinya yang terlahir dari permaisuri, tetapi putrinya telah memilih menjadi seorang pertapa dengan gelar Ratu Giri Putri, maka tahta kerajaan diserahkan kepada kedua orang putra yang terlahir dari selir Airlangga. Selanjutnya, Kerajaan Medang Kamulan terbagi dua, untuk menghindari perang saudara, yaitu Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri (Panjalu).

sejarah tentang kerajaan di indonesia
Medang kamulan
1. Letak Geografis
Kerajaan Medang kamulan merupakan Kerajaan kelanjutan dari Mataram Lama di Jawa Tengah. Letak Kerajaan berada di wilayah Jawa Timur. Kerajaan Medang menjadi Kerajaan tersendiri sejak Mpu sindok membentuk Dinasti Baru yaitu Isyana.
2. Sumber Sejarah
• Prasasti Mpu Sindok
Prasasti ini menyebutkan beberapa tulisan tentang usaha-usaha yang dilakukan Mpu Sindok ketika memerintah di Kerajaaan Medang
• Prasasti Calcuta
Prasasti ini menyebutkan tentang silsilah raja-raja yang memerintah di Dinasti Isyana (Mpu Sindok) sampai masa masa pemerintahan Raja Air Langga.
3. Perkembangan Pemerintahan
a. Mpu Sindok
Mpu Sindok merupakan Raja pertama di Kerajaan Medang Kamulan. Mpu Sindok memerintah selama 20 tahun. Selama pemerintahannya, ia dibantu oleh oleh permaisurinya bernama Sri wardhani Pu Kbin . Saat memerintah, Mpu Sindok bergelas Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isyana Wikrama Dharmatunggadwea.
Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Berbagai usaha yang dilakukan untuk memakmurkan rakyat, antara lain membangun bendungan atau waduk untuk pengairan. Raja Mpu sindok melarang rakyat untuk menangkap ikan di bendungan tersebut. Larangan ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam.
Dalam bidang agama , Mpu Sindok meskipun agama Hindu, sangat memperhatikan usaha penggubahan Kitab Buddha Mahayana. Hasil gubahan berupa kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Perhatian membuktikan antara agama Hindu dan Buddha bisa hidup saling berdampingan.
b. Dharmawangsa Teguh
Setelah Mpu Sindok, Medang Kamulan diteruskan oleh Dharma Teguh yang juga merupakan cucu dari Mpu Sindok. Selama memerintah, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Usaha tersebut antara lain dengan meningkatkan pertanian, dan perdagangan. Akan usaha untuk meningkatkan perdagangan mengalami kesulitan. Karena perdagangan di kawasan perairan jawa dan Sumatera masih dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Dalam rangka mematahkan pengaruh Sriwijaya, pada tahun 1003 M, Dharmawangsa mengirimkan tentaranya untuk merebut pusat perdagangan di Selat Malaka dari kekuasaan Sriwijaya. Serangan tersebut ternyata tidak berhasil. Bahkan Sriwijaya membalas melalui serangan kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan atau vassalSriwijaya). Akibat serangan tersebut Kerajaan Medang mengalami kehancuran. Peristiwa kehancuran yang menewaskan Dharmawangsa disebut dengan Pralaya.
c. Air langga (Erlangga)
Air langga adalah putera Raja Bali bernama Udaya yang menikah dengan Mahendradatta saudari raja Dharmawangsa. Air Langga dinikahkan oleh Dharmawangsa. Pada waktu pesta pernikahan, secara tiba-tiba datang serangan dari kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan Sriwijaya) yang menewaskan Dhramawangsa dan keluarga.
Ketika terjadi peristiwa tersebut, Air Langga lolos dari pembunuhan. Atas bantuan Narattoma berhasil melarikan diri ke hutan. Selama di pengasingan, Air Langga mendapat gemblengan dari para Brahmana dan dinobatan menjadi raja. Akhir Langga berusaha memulihkan kewibawaan Kerajaan Medang. Secara berturut-turut Air Langga berhasil menaklukan raja-raja bawahan (vassal) Sriwijaya seperti Bisaprabhawa ditaklukan tahun 1029 M, raja Wijayawarman dari Wengker tahun 1034, Raja Adhamapanuda tahun 1031 M termasuk Wura Wuri tahun 1035. Setelah berhasil memulihkan kewibawaan kerajaan, Air Langga memindahkan ibukota kerajaan Medang keKahuripan.
Usaha yang dilakukan Air Langga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Medang, antara lain :
1. Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, di muara Kali Brantas.
2. Membangun waduk waringin sapta untuk mencegah banjir musiman
3. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan pesisir ke pusat kerajaan
Pelabuhan Hujung Galuh dan Tuban menjadi bender dagang yang ramai. Kapal-kapal dari India, Birma, Kamboja dan Champa berkunjung kedua tempat itu.
Usaha-usaha yang dilakukan Air Langga, telah mendorong Kerajaan Medang Kamulan kepuncak kejayaan dan kemakmuran. Atas keberhasilan raja Air Langga tersebut dalam membangun kerajaan maka pengalaman hidupnya dikisahkan dalam sebuah kitab bernama Arjuna wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa.
Selain usaha dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, Air Langga pun sangat memperhatikan para Brahmana yang telah menggembleng ketika di hutan Bentuk perhatian Air Langga terhadap para Brahmana adalah dengan mendirikan bangunan suci di daerah Peucangan.
Di penghujung akhir hayatnya, Air Langga memutuskan mundur dari kerajaan dan menjadi memutuskan untuk menjadi pertapa dengan sebutan resi Gentayu. Air Langga meninggal pada tahun 1049 M. Jenazahnya disemayamkan di lereng gunung Pananggungan dalamcandi Belahan.
Pewaris tahta kerajaan seharusnya seorang puteri (sri Sanggramawijaya) yang lahir dari permaisuri. Namun karena ia memilih menjadi pertapa, maka tahta beralih pada putera Air Langga yang lahir dari Selir. Untuk menghindari dari perang saudara, Air Langga membagi dua kerajaan. Pembagian dibantu oleh Mpu Bharada, yaitu Jenggala dan Panjalu. Batas kedua kerajaan dibatasi oleh sungai Brantas. Maka dengan demikian berakhirlah kerajaan Medang Kamulan sekaligus Dinasti Isyana.
Kerajaan kutai
Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara dan seluruh Asia Tenggara. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah.
[sunting]Sejarah
[sunting]Yupa
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
[sunting]Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kudungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
[sunting]Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.
[sunting]Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra JawaNegarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
Tarumanegara
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Sumber Sejarah
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa tujuh buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu diJakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.
[sunting]Prasasti yang ditemukan
1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah “kota pelabuhan sungai” yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
[sunting]Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak “sangkala” yang mengikuti ketentuan “angkanam vamato gatih” (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
[sunting]Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang “pandatala” (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti “tanda tangan” pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama “Rajamandala” (raja daerah) Pasir Muhara.
[sunting]Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang “bhramara” (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala “kemudaan” nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
[sunting]Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam – padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam – bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
[sunting]Sumber berita dari luar negeri
Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.
1. Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti (“Jawadwipa”) hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan “beragama kotor” (maksudnya animisme).
2. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo (“Taruma”) yang terletak di sebelah selatan.
3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.
Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
Medang Kamulan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Medang Kamulan adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang. “Kamulan” berarti “permulaan”, sehingga “Medang Kamulan” dapat diartikan sebagai “pra-Medang”.
Kerajaan ini dikatakan setengah mitologis karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti fisik keberadaannya. Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanya berasal dari cerita-cerita rakyat, misalnya dalam legenda Loro Jonggrang, dan penyebutan oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa menyebutkan bahwa Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru[1]. Dalam legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar yang zalim. Cerita rakyat lain, di antaranya termasuk legenda Loro Jonggrang dan berdirinya Madura, menyatakan bahwa Medang Kamulan dikuasai oleh Prabu Gilingwesi.[2]
Legenda Aji Saka sendiri menyebutkan bahwa Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan adalah tempat munculnya Jaka Linglung setelah menaklukkan Prabu Dewata Cengkar.[3] Van der Meulen menduga, walaupun ia sendiri tidak yakin, bahwa Medang Kamulan dapat dinisbahkan kepada “Hasin-Medang-Kuwu-lang-pi-ya” yang diajukan van Orsoy,[4] dalam artikelnya tentang Kerajaan “Ho-Ling” yang disebut catatan Tiongkok. Hal ini membuka kemungkinan bahwa Medang Kamulan barangkali memang pernah ada. Baris ke-782 dan 783 dari naskah kedua Perjalanan Bujangga Manik dari abad ke-15 menyebutkan bahwa setelah Bujangga Manik meninggalkan Pulutan (sekarang adalah desa di sebelah barat Purwodadi, Jawa Tengah) ia tiba di “Medang Kamulan”. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa setelah menyeberangi Sungai Wuluyu, tibalah ia di Gegelang yang terletak di sebelah selatan Medang Kamulan.[5] Naskah inilah yang pertama kali menyebutkan bahwa memang ada tempat bernama Medang Kamulan, meskipun tidak dikatakan bahwa itu adalah kerajaan.
       Dalam prasasti. kraton Sanjaya dikatakan terletak di Medang di Poh Pitu (ri mdang ri poh pitu). Dimana letak Poh Pitu itu hingga kini belum dapat ditentukan. Salah satu tempat yang diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Mataram itu terletak di Medari, Sleman. Di daerah Medarintotex (GKBI Medari) pernah diketemukan bekas-bekas peninggalan purbakala berupa fondasi bangunan dan sisa-sisa tembok keliling yang terbuat dari batu andesit. Penggalian purbakala yang dilakukan disana terpaksa dihentikan karena terbentur bekuan batuan lahar yang sangat keras pada kedalaman satu meter dari permukaan tanah sekarang. Rupanya daerah ini pernah mengalami musibah dilanda lahar panas. Dari beberapa sisa bangunan yang telah diketemukan, terutama yang jelas berupa bekas-bekas sebuah tembok keliling, dapat diperkirakan bahwa daerah itu pada jaman dahulu merupakan tempat pemukiman.
Dugaan pusat Kerajaan Mataram di Medari itu bisa juga dirunut dari kalimat “ri medang ri” yang lama-kelamaan dibaca sebagai “medari”. Pendapat ini dilengkapi dengan terdapatnya desa kepitu di selatan Medari. Bukankan dalam prasasti Medang disebut terletak di Poh Pitu. Poh Pitu ini pada jaman sekarang berubah menjadi desa Kepitu. Uniknya, di sekitar desa Kepitu tersebut tidak terdapat desa Kanem atau Kewolu. Budayawan Linus Suryadi AG (almarhum) juga mempunyai pandangan serupa. Hal ini didasarkan pada fakta lapangan bahwa di sekitar desa Kadisaba, Sleman ditemukan bekas Wihara Budha. Dan tampaknya di wilayah ini banyak bangunan sekolahan jaman kuno (Wihara).
Candi yang didirikan Sanjaya diketahui letaknya, yaitu di daerah Gunung Wukir di Salam, Magelang. Maka letak istananya kemungkinan terletak di sekitar candi tersebut. “Kraton Medang kemungkinan terletak di dalam radius tertentu dari candi Gunung Wukir. Di sekitar daerah Salam atau Salaman, “kata Joko Dwiyanto.
Tidak jauh dari Medari di desa Morangan dalam bulan September 1965 pernah diketemukan sebuah candi. Candi ini diberi nama Candi Batumiring. Letaknya terbenam sedalam lima meter dibawah permukaan tanah sekarang. Keadaan ini sama seperti yang dialami candi Sambisari di daerah Kalasan yang juga diketemukan di kedalaman enam meter di bawah permukaan tanah sekarang. Berarti candi-candi itu sempat terkubur lahar Merapi. Sayang sekali, Candi ini tidak bisa ditampakkan kembali. Bahkan sekarang sudah ditimbun tanah lagi oleh pemilik pekarangan.
Banyak pihak tentu akan berpendapat bahwa Kraton Medang terletak di daerah Prambanan. Pendapat ini sangat beralasan. Prambanan merupakan daerah yang sangat kaya peninggalan monumen dari jaman Mataram kuno. Banyaknya candi yang sudah diketemukan memberi indikasi bahwa daerah ini pernah menjadi pusat kegiatan masyarakat. Apalagi Candi Prambanan dan Candi Sewu yang bisa dipastikan sebagai candi kerajaan terdapat disini.
“Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Drs. Kusen (Almarhum) sampai pada kesimpulan bahwa salah satu pusat Kerajaan Medang berada di Randusari. Desa ini terletak sekitar 3 Km di sebelah timur Candi Prambanan, “tambah Joko Dwiyanto. “Temuan emas di Wonoboyo semakin menguatkan pedapatnya itu. Menurutnya, Wonoboyo merupakan pemukiman bangsawan yang terletak di pusat Kerajaan. Memang, Wonoboyo dekat dengan Randusari.”
Candi merupakan petunjuk terdapatnya aktivitas manusia masa Hindu. Jika candi tersebut merupakan sebuah kumpulan yang luas, kemungkinan besar pusat kerajaan juga berada di sekitar tempat itu. Kesimpulan yang dibuat oleh Drs. Kusen (Almarhum) terhadap lokasi Candi Prambana, juga dilakukan oleh Drs. Martinus Maria Soekarto kartoatmojo (Almarhum) di daerah Candi Borobudur.
Kraton Medang ternyata tidak hanya di Poh Pitu saja. Raja Rakai Kayuwangi pernah menempatkan kratonnya di Mammratipura (medang i mamratipura).
Raja Rakai Panangkaran memindahkan pusat kerajaannya dari daerah Kedu ke lembah di lereng Gunung Merapi. Memindahkan pusat kerajaannya ke timur. Mungkin di daerah Sragen di sebelah timur Sungai Bengawan Solo atau daerah Purwodadi/Grobogan.Pusat kerajan Rakai Watukura Dyah Balitung berpusat di daerah Kedu Selatan mengingat gelar rakainya.
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran karena letusan Gunung Merapi yang maha dahsyat, sehingga dalam anggapan para pujangga hal itu dianggap sebagai kehancuran dunia pada akhir masa Kaliyuga. Maka harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Karena itu maka Mpu Sindok membangun kembali kerajaannya di Jawa Timur. Rupa-rupanya Kerajaan itu tetap bernama Mataram. Ibukotanya bernama Tamwlang. Letak Tamwlang mungkin di daerah Jombang dimana masih ada desa Tambelang. Menurut prasasti Harinjing (726 Masehi), Watugaluh terletak di Jawa Timur.
Yang masih menjadi pertanyaan kemudian adalah kaitan antara bekas Kraton Boko dengan Candi Prambanan. Sebab di bekas Kraton Boko itu terdapat replika Candi Prambanan sebagai tempat berdoa atau ‘caos sesaji’. Namun ada dugaan lain, Kraton Boko hanya tempat peristirahatan dan benteng terakhir. Dari paparan tadi bisa jadi ada pergeseran pusat pemerintahan Mataram Kuno, dari wilayah Kedu selatan sampai di Sleman, kemudian ke timur dan setelah menjadi Mataram mungkin di sebelah timur laut kota Yogyakarta. Tentang hal ini banyak pakar berbeda pendapat. Namun dari bukti-bukti lapangan dan referensi pustaka bisa dikaji kemungkinan letak Mataram Hindu.  


Desa Medang dijumpai mulai dari daerah Bagelen di Purworejo, Jawa Tengah sampai di dekat Madiun, Jawa Timur. Yang terbanyak ialah antara Purwodadi/Grobogan dan Blora. Lokasi daerah ini sesuai pula dengan keterangan yang ditulis oleh sumber-sumber Cina dari jaman Dinasti Tang (618-906 Masehi). Sumber ini menyebut Jawa sebagai Ho-ling. Dikatakan bahwa Ho-ling adalah kerajaan yang makmur. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam (bledug). Ho-ling ini sering disamakan dengan Kalingga dalam cerita tutur rakyat Jawa Tengah.
Keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan air garam memang cocok dengan keadan di Purwodadi, Jawa Tengah. Di desa Kuwu di daerah Purwodadi terdapat kawah yang selalu menyemburkan air garam. Penduduk setempat menyebutnya Bledug Kuwu. Orang di situ membuat garam dari air yang mengalir dari kawah tersebut.
   “Pendapat tersebut dikemukakan oleh Boechari (almarhum). Beliau menempatkan kronologi kerajaan Ho-ling ini sebelum Medang. Sedangkan Kalingga sebenarnya hanya ada dalam cerita rakyat. Tidak ada bukti sejarah yang yang mendukumg keberadaannya, “tambah Joko Dwiyanto”.
   Karena Boechari menempatkan kronologi Ho-ling lebih tua dari Medang, yang dianggapnya terletak di Grobogan, maka masyarakat menempatkan Medang Kamulan di daerah Grobogan tersebut. “Kamulan berarti asal, yang mula-mula, yang pertama-tama. Jadi Medang Kamulan berarti letak Medang yang pertama atau asal mula medang ,”ungkap Joko Dwiyanto”.
Berita Cina selanjutnya menyebutkan bahwa Ki-yen telah memindahkan ibukota Ho-ling ke timur. Pemindahan pusat kerajaan ini terjadi tahun 899-911 Masehi. Van Der Meulen memperkirakan perpindahan itu terjadi dari sekitar Pegunungan Dieng ke kaki sebelah timur Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Tempat yang dimaksud adalah desa Bergas Lor dan Bergas Kidul. Kedua desa ini terletak beberapa kilometer di selatan kota Ungaran. Di tempat itu terdapat Candi Sikunir. Dari candi ini banyak patung yang telah dipindahkan ke Museum Nasional Jakarta. Kurang lebih ada sepuluh arca. Belum lagi arca-arca yang dibawa secara ilegal. Di sekitar wilayah itu juga diketemukan peninggalan di Pendem, Karangjati, dan Mijel. Bekas-bekas pemandian juga diketemukan di Kali Taman dan Sindang Beji.
Jumlah cincin emas yang pernah diketemukan dan kini disimpan di Museum Nasional Jakarta sebagian besar berasal dari Dieng dan sekitar Gunung Ungaran.Di tempat itu diketemukan 77 buah cincin.
Dari penelitian Dr. Agus Pudjoarianto dari Fakultas Biologi UGM, di Dieng sudah ada kegiatan manusia dari tahun 500 Masehi. Dari telaahan serbuk sari yang dilakukan kegiatan yang dilakukan manusia berkelompok ini bisa jadi merupakan sebuah komunitas masyarakat kerajaan. Menurutnya terdapat kemiripan tumbuhan yang di tanam di Dieng dengan beberapa bagian di Jawa Barat. Dari asumsi ini bisa diduga bahwa awal Kerajaan Medang dari Jawa Barat kemudian berkembang di Jawa Tengah antara lain di Dieng. Dugaan ini diperkuat dengan banyaknya candi yang dibangun di wilayah ini. Bahkan dari kisah wayang Lahirnya Abimanyu yang mandi di Sungai Serayu (sir rahayu) terlihat adanya pemahaman akan adanya sosialitas masyarakat kerajaan. Diperkuat dengan nama candi-candi yang ada di Dieng yang diambil dari nama wayang bisa jadi di lereng Gunung Sindoro ini pernah lahir kerajaan. Dari telaah serbuk sari juga didapat bukti adanya lumpur vulkanik yang tebal yang menutupi kegiatan sebelumnya. Temuan ini memperkuat asumsi hancurnya Kerajaan Medang oleh abu dahsyat Merapi. Kota Dieng yang selalu berkabut dalam bahasa Jawa disebut “Kamulan”.






Jika kita melinta s di jalan raya Yogyakarta – Magelang, tepatnya di daerah kecamatan Salam secara tidak sengaja kita akan menengok ke selatan jalan. Kuburan-kuburan Cina yang terletak di lereng bukit menjadi penyebabnya. Sayang, banyak dari kita tidak tahu bahwa bukit itu menyimpan sejarah masa lalu yang penting.
Gunung Gendol, demikian penduduk setempat menyebutnya, pernah menjadi saksi meletusnya Gunung Merapi sepuluh abad silam. Menurut Van Bemmelen, seorang ahli geologi, letusan Merapi yang terhebat dalam sejarahnya itu menyebabkan sebagian besar puncaknya lenyap. Lapisan tanah bergeser ke arah barat daya, sehingga terjadi lipatan. Gerakan tanah ini membentur Pegunungan Menoreh dan membentuk Gunung Gendol.
Di Gunung Gendol ini pula babak baru Kerajaan Mataram Kuno dimulai. Peristiwanya tercatat dalam prasasti Canggal yang diketemukan di halaman Candi Gunung Wukir. Candi ini terletak di salah satu puncak Gunung Gendol. Prasasti ini menulis bahwa Raja sanjaya telah mendirikan lingga diatas Bukit Sthirangga untuk keselamatan rakyatnya pada hari Senin tanggal 13 paro terang bulan Kartika 654 Saka atau 732 Masehi. Lingga itu ialah Candi Gunung Wukir yang hingga kini masih ada sisa-sisanya.
Pendirian lingga untuk memperingati bahwa Sanjaya telah dapat membangun kembali Kerajaan dan bertahta setelah menaklukkan musuh-musuhnya. Musuh-musuh itu telah menyerang Sanna, raja yang berkuasa sebelum Sanjaya. Pusat kerajaan Sanna dihancurkan. Ibukota kerajaan diserbu dan dijarah. Karena itu setelah Sanjaya dinobatkan mejadi raja, perlu dibangun ibukota baru dengan istana baru disertai pembangunan candi untuk pemujaan lingga kerajaan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan bahwa istana yang telah diserbu musuh sudah kehilangan tuahnya.
Bangunan suci yang didirikan Sanjaya terletak di wilayah Kunjarakunja. Tentang nama Kunjarakunja itu, Poerbatjaraka pernah mengemukakan pendapat bahwa yang yang dimaksud dengan daerah itu adalah daerah Sleman, Yogyakarta sekarang, berdasarkan arti kata itu, yaitu hutan Gajah dan adanya daerah wana ing alas i Saliman. Kata Saliman diartikan sebagai daerah Sleman sekarang.
Nama Sanjaya semakin jelas posisinya dalam sejarah Mataram Kuno dengan diketemukannya prasasti Mantyasih (907 Masehi) dan Wanua Tengah III (908 Masehi). Kedua prasasti yang dibuat oleh Dyah Balitung itu berisi daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Urutan pertama raja-raja tersebut ditempati oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (prasasti Mantyasih) dan Rahyangta ri Medang dapat disamakan dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Prasasti Mantyasih dibuat untuk menghormati leluhur yang telah diperdewakan di Medang di Poh Pitu. Disini untuk pertama kalinya nama Medang disebut.
“Medang adalah nama kerajaan sebelum bernama Mataram. Jadi, kerajaan Medang sama dengan kerajaan Mataram. Lebih tepatnya, Medang adalah embrio Mataram,” kata Drs. Joko Dwiyanto-Dosen Fakultas Arkeologi UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar