Ular Dandaung
by Pendongeng on
March 19, 2010
Konon, dahulu kala
ada sebuah kerajaan. Tidak disebutkan oleh pencerita apa nama
kerajaan itu. Menurut cerita, kerajaan itu cukup besar. Negerinya
kaya raya sehingga penghasilan rakyat melimpah ruah. Rajanya adil dan
bijaksana. Kekayaan kerajaan bukan hanya dinikmati raja dan
keluarganya, tetapi rakyat pun turut menikmati. Pantaslah jika
kerajaan itu selalu dalam suasana tenteram dan damai. Dengan
kerajaan-kerajaan lain pun, tidak pernah terjadi silang sengketa
sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai.
Sayang, ketenteraman
itu tidak bertahan lama. Tidak disangka-sangka musibah datang menimpa
mereka. Mereka bukan diserang musuh yang iri pada kemakmuran dan
kerukunan kerajaan, tetapi oleh burung raksasa yang tiba-tiba muncul.
Langit menjadi gelap gulita karena tubuh burung itu amat besar. Kepak
sayapnya memekakkan telinga.
Karena serbuan
burung raksasa itu demikian mendadak, rakyat kerajaan panik luar
biasa. Mereka bingung dan tidak tahu akan berbuat apa menghadapi
suasana itu. Mereka menyangka kiamat sudah datang.
Dalam sekejap mata,
kerajaan itu musnah binasa dengan segala isinya. Bangunan rata dengan
tanah. Pohon-pohon bertumbangan. Rakyat dijemput maut tertimpa pohon
atau terbenam dalam reruntuhan rumah dan gedung mereka.
Ibarat sebuah negeri
kalah perang, kerajaan yang sebelumnya subur makmur itu menjadi
sebuah lapangan terbuka. Tiada tumbuhan, hewan, dan manusia di sana,
kecuali raja bersama permaisuri dan ketujuh putrinya. Mereka bingung
dan takut, barangkali datang serangan kedua. Jika hal itu terjadi,
tamatlah riwayat mereka. Dengan mudah burung raksasa itu melihat
mereka sebab tidak selembar daun lalang pun dapat dijadikan tempat
untuk berlindung.
Akan tetapi, mereka
tetap bersyukur kepada Tuhan karena terhindar dari malapetaka. Tuhan
yang Mahabesar masih menginginkan kehadiran mereka di dunia.
Dalam keadaan tidak menentu itu mereka dikagetkan lagi dengan kejadian yang membuat mereka semakin putus asa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor ular raksasa hadir di depan mereka. Ular itu mengangakan mulutnya sehingga lidahnya yang besar dan berbisa bergerak-gerak keluar masuk mulutnya. Raja bersama permaisuri dan ketujuh putri berkumpul menjadi satu kelompok. Mereka sating merangkul. Raja berpikir, jika harus mati, biarlah mereka mati bersama menjadi mangsa ular raksasa itu.
Dalam keadaan tidak menentu itu mereka dikagetkan lagi dengan kejadian yang membuat mereka semakin putus asa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor ular raksasa hadir di depan mereka. Ular itu mengangakan mulutnya sehingga lidahnya yang besar dan berbisa bergerak-gerak keluar masuk mulutnya. Raja bersama permaisuri dan ketujuh putri berkumpul menjadi satu kelompok. Mereka sating merangkul. Raja berpikir, jika harus mati, biarlah mereka mati bersama menjadi mangsa ular raksasa itu.
“Paduka
tak usah takut,” tiba-tiba ular itu berkata. “Hamba tidak akan
mengganggu Paduka, permaisuri, dan putri-putri Paduka, asalkan Paduka
mengabulkan permohonan hamba.”
Rasa takut raja
sekeluarga berkurang mendengar ular itu dapat berbicara seperti
manusia.
“Siapakah engkau?
Apakah keinginanmu?” tanya sang raja.
“Nama hamba Dandaung. Ular Dandaung,” ujar ular raksasa itu. “Hamba ingin memperistri salah seorang putri Paduka.”
“Nama hamba Dandaung. Ular Dandaung,” ujar ular raksasa itu. “Hamba ingin memperistri salah seorang putri Paduka.”
Tertegun sejenak
sang raja mendengar permintaan Ular Dandaung. Seekor ular raksasa
ingin memperistri anaknya? Tidak masuk akal ular menikah dengan
manusia. la tidak berani menolak karena takut akibatnya.
“Aku tidak
menolak, tetapi juga tidak menerima lamaranmu,” sahut sang raja.
“Aku harus menanyakan hal ini kepada putriku satu per satu!”
Seorang demi seorang
putrinya ditanya. Putri sulung sampai dengan putri keenam menolak
diperistri Ular Dandaung. Sang raja sudah membayangkan akibat buruk
yang akan mereka terima andaikata putrinya menolak.
“Hamba bersedia
menjadi istrinya,” kata putri bungsu ketika ditanya ayahandanya.
Tentu saja
kakak-kakaknya mengejek putri bungsu. Berbagai cemooh mereka
lontarkan, tetapi putri bungsu menerimanya dengan tabah. Pendiriannya
tidak tergoyahkan.
Pada suatu matam,
putri bungsu terbangun dari tidur. Ia amat kaget karena bukan Ular
Dandaung yang berbaring di sisinya melainkan seorang permuda tampan.
Belum habis rasa herannya, pemuda itu berkata, “Aku bukan orang
lain, aku suamimu si Ular Dandaung. Aku seorang raja yang Baru
terbebas dari kutukan.”
Raja dan permaisuri
terkejut melihat kejadian itu. Akan tetapi, mereka bangga mendapat
menantu yang sangat tampan, apatagi is seorang raja. Hanya keenam
putrinya tidak habis-habisnya menyesaii diri mereka.
Di kemudian hari
terbukti bahwa di samping seorang raja yang tampan, Ular Dandaung
juga seorang yang mempunyai kehebatan. Dengan kesaktiannya, burung
raksasa yang menghancurkan kerajaan mertuanya dapat ditaklukkan dan
dibunuh. Ia juga menciptakan sebuah kerajaan Baru, lengkap dengan
segala peralatan dan rakyatnya.
Ketika mertuanya
tidak mampu memerintah lagi, Ular Dandaung menggantikannya dan putri
bungsu menjadi permaisurinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar